Peran Pestisida dan Pupuk Kimia Dalam Menyumbang Peningkatan Carbon Footprint
Sebagai negara agraris ternyata Indonesia pernah menempati urutan kelima sebagai negara penyumbang terbesar gas emisi atau carbon footprint global dari sektor pertanian. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia dalam proses bertani merupakan salah satu penyebab tingginya jumlah carbon footprint dari sektor pertanian. Salah satu yang disorot adalah penggunaan pestisida dan pupuk kimia pada proses penanaman padi. Pada tahun 2010, budidaya padi di sawah ternyata menyumbang setidaknya 10 persen carbon footprint dari produksi pertanian.
Sektor pertanian memang banyak menghasilkan carbon footprint. Namun di sisi lain sektor ini juga bisa berperan sangat besar dalam membantu mengurangi carbon footprint. Terlebih di Indonesia yang merupakan negara agraris, di mana sebagian besar penduduknya bekerja pada bidang pertanian.
Salah satu yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana menerapkan pertanian berkelanjutan dengan meminimalisir sebanyak mungkin penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Ada beberapa sebab mengapa pestisida dan pupuk kimia merupakan penyumbang carbon footprint yang cukup besar.
Peran Pestisida pada Carbon Footprint
Pestisida memang kerap diperlukan oleh para petani. Karena dengan pestisida, hama, gulma, dan berbagai penyakit pada tanaman dapat dikendalikan atau dihilangkan. Di Indonesia, petani yang paling banyak menggunakan pestisida adalah petani sayuran, petani tanaman pangan, dan petani buah-buahan.
Bagi para petani, pestisida seperti “dewa penyelamat”, pembasmi segala hama yang mengganggu. Sayangnya penggunaan pestisida di masa depan justru jadi bumerang yang bisa merugikan petani itu sendiri. Karena bila berlebihan justru bisa membuat hama resisten terhadap pestisida dan timbulnya hama sekunder.
Bukan itu saja, pestisida memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, akibat emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan tersebut. Ketika petani menggunakan pestisida, tak semua bahan kimia terserap oleh tanaman. Zat, termasuk karbon, yang tidak terserap tersebut mengapung di atmosfer, menjadi gas rumah kaca.
Peran Pupuk Kimia pada Carbon Footprint
Pupuk kimia yang mulai diproduksi pada sekitar tahun 1900-an memang menyediakan nitrogen dan unsur hara yang diperlukan tumbuhan agar tumbuh dengan baik. Nitrogen dimasukkan ke dalam pupuk karena tumbuhan tidak dapat langsung mengambil nitrogen dari udara.
Sayangnya tumbuhan tidak mampu menyerap keseluruhan kandungan nitrogen dalam pupuk, sehingga nitrogen yang tak terserap tersebut berikatan dengan oksigen. Ikatan tersebut membentuk gas dinitrogen oksida (N2O).
Gas N2O inilah yang merupakan gas rumah kaca. Beberapa ahli lingkungan bahkan menyebutkan bahwa gas N2O lebih kuat 300 kali dibanding karbondioksida (CO2) dalam memanaskan atmosfer. Peningkatan gas N2O ini bisa mengakibatkan pemanasan global .
Selain itu, proses pembuatan pupuk juga menghasilkan carbon footprint cukup tinggi. Sebab dalam proses pembuatannya diperlukan tekanan tinggi di bawah suhu tinggi, sehingga memerlukan banyak energi untuk membuatnya.
Energi untuk pembuatan tersebut dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara dan gas. Dalam proses pembakaran itulah carbon footprint dihasilkan. Terbayang kan #Eatizen, berapa besar pengaruh penggunaan pupuk kimia bagi terbentuknya gas rumah kaca?
Karena melihat dampak negatif dari pestisida dan pupuk kimia inilah, maka para ahli pertanian mulai menggiatkan konsep pertanian berkelanjutan atau pertanian terpadu. Di mana penggunaan pestisida dikurangi dengan menanam tanaman lain secara selang seling. Penggunaan pupuk kimia juga diganti dengan pupuk kompos yang merupakan limbah dari peternakan sapi. Diharapkan dengan teknik tersebut ketahanan pangan tetap terjaga, pemanasan global pun dapat dicegah.
#FoodSustainesia #FoodSustainability #Penggunaanpestisida #penggunaanpupukkimia #carbonfootprint #gasrumahkaca #efekrumahkaca #pemanasanglobal #cegahpemanasanglobal
Foto: Pexels – Prakash Aryal https://www.pexels.com/photo/a-bald-man-spraying-pesticide-on-paddy-field-10806264/