Mengapa Sampah Makanan Disebut sebagai Penyumbang Jejak Karbon?
Eatizen, apakah kamu pernah terpikir kalau sampah dan limbah makanan bisa memperparah pemanasan global? Meski terdengar berlebihan, namun sayang hal ini benar adanya. Kalau kamu berpikir; tapi itu kan cuma sampah?, itu berarti kamu perlu mencari tahu lebih jauh lagi soal ini. Sampah menimbulkan banyak masalah bagi lingkungan, meski itu adalah sampah makanan. Salah satu masalah tersebut adalah carbon footprint (jejak karbon) yang ia tinggalkan.
Mari kita tinjau ulang dulu kaitan antara carbon footprint (jejak karbon) dengan dan pemanasan global. Jejak karbon merupakan hitungan jumlah emisi (pancaran) gas rumah kaca dari aktivitas manusia. Jumlah gas rumah kaca yang kian hari kian banyak semakin mengganggu fungsi atmosfer dalam menstabilkan suhu permukaan bumi. Akibatnya sudah mulai terasa sekarang dalam wujud pemanasan global—meningkatnya suhu permukaan bumi. Lalu, bagaimana sampah dan limbah makanan turut menyumbang jejak karbon?
Dari limbah produksi hingga sampahnya, makanan sudah menyumbang karbon ke lingkungan. Pertama, soal produksi. Kita ambil produksi daging merah sebagai contoh untuk menggambarkan bagaimana hal ini meninggalkan carbon footprint.
Di peternakan, penggembalaan hewan ternak menghasilkan sangat banyak emisi karbon dari gas yang asalnya dari sistem pencernaan dan kotorannya. Belum lagi kalau sapi tersebut diimpor—menggunakan alat transportasi yang juga meninggalkan jejak karbon. Bayangkan kalau ada ratusan juta bahkan milyaran peternakan yang melakukan hal yang sama. Menurut data dari OurWorldinData.org, aktivitas peternakan menyumbang paling banyak karbon dari kotoran sapi dalam kategori produksi daging.
Selanjutnya, yaitu proses distribusi. Distribusi bahan makanan juga meninggalkan jejak karbon. Selain menyangkut penggunaan kendaraan, banyak dari bahan tersebut yang rusak di perjalanan. Bahan makanan yang rusak kebanyakan tidak akan berakhir di lapak penjual atau dapur konsumen. Ke mana semuanya berakhir? Tentu saja, dibuang. Misalnya saja, sayur yang tampak jelek tidak akan konsumen beli. Semakin rusak, akhirnya busuk dan menjadi limbah makanan. Limbah makanan yang menumpuk kemudian busuk melepas gas metana (CH4) ke udara.
Yang terakhir adalah konsumsi makanan jadi. Kalau kamu masih sering membuang-buang makanan, sebaiknya kamu segera memperbaiki kebiasaan tersebut. Pun jika kamu hanya mau menggunakan bahan yang kelihatan paling bagus. Sama halnya dengan kasus sebelumnya, makanan yang kamu buang juga meninggalkan carbon footprint. Begitu pula bahan ‘tidak sempurna’ yang tidak kamu pakai.
Fakta menyebutkan bahwa sepertiga dari seluruh makanan yang diproduksi setiap tahunnya tidak benar-benar dikonsumsi. Sayang sekali, bukan? Makanan yang tidak dikonsumsi tentu akan menjadi sampah. Proses produksinya pun menjadi sia-sia. Dari sekadar membuang makanan, kamu sudah ‘berkontribusi’ memberikan dampak buruk bagi lingkungan.
Demikianlah sedikit penjelasan tentang mengapa dan bagaimana sampah dan limbah makanan bisa meninggalkan carbon footprint. Kalau kamu punya niat baik untuk mengurangi dampak pemanasan global, kamu bisa mulai dari membiasakan diri membeli dan memasak makanan secukupnya. Dalam memilih bahan, tidak perlu terlalu perfeksionis asalkan masih tampak layak.
Selanjutnya, kamu bisa juga melanjutkan dengan lebih bijak memilih jenis makanan untuk kamu konsumsi. Misalnya saja dengan mengurangi konsumsi daging merah. Kamu bisa menggantinya dengan daging ayam, ikan, atau sumber protein lain seperti kacang-kacangan. Makanlah lebih banyak buah dan sayuran.
#FoodSustainesia #FoodSustainability #FoodWaste #CarbonFootprint #JejakKarbon #PemanasanGlobal #EmisiGasRumahKaca #KelestarianLingkungan
Sumber Foto